PANGAPUNTEN
22 Januari
1968 lahirlah putri dari Sri Asmiranti dengan Ki Tejo, pria tua yang miskin. Mereka
menamai putrinya dengan nama Dewi Kopi karena kulitnya yang sangat eksotis.
Berbanding terbalik dengan Sri Asmiranti yang kulitnya putih. Mereka berdua
adalah penduduk desa Asmorejo, desa kecil nan kuno.
Asmiranti
dulunya adalah kembang desa yang banyak direbutkan oleh kalangan menengah ke atas seperti Boru, konglomerat desa
Asmorejo. Boru adalah saudagar pemarah yang gemar menyendiri di pantai di tengah malam untuk membayangkan paras Asmiranti dan menikmati indahnya
rasi bintang. Sifatnya yang pemarah disebabkan supaya karyawannya memiliki etos
kerja yg unggul. Asmiranti memilih menikah dengan Ki Tejo dikarenakan entah
mengapa Asmiranti merasa sesuatu yang berbeda ketika bersama Ki Tejo, padahal
pilihan lain yang lebih baik masih bisa didapatkan oleh Asmiranti.
Ki Tejo,
pria miskin tua
dan memiliki bahasa yang
santun sehingga berhasil menghanyutkan siapapun meskipun pemalas. Ia berhasil
mendapatkan hati kembang desa itu yang kini menjadi istrinya. Sangking
miskinnya, mereka memiliki uang hanya cukup untuk makan tujuh hari mendatang,
dan kini mereka memiliki seorang anak. Bagaimana nasib Dewi Kopi kedepannya?
Hanya beras gratisan yang bisa
mereka andalkan.
Sejak
kecil, Dewi Kopi sudah diperlakukan bak anak kucing yang sebenarnya tak
diharapkan kehadirannya. Mak dan bapak
adalah nama panggilan yang diberikan Dewi untuk memanggil orang tuanya. Pada
suatu hari ketika matahari hendak tenggelam, Dewi Kopi pergi ke sebuah pantai
di desanya. Seandainya Dewi Kopi hidup di zaman modern mungkin Dewi akan
mengabadikan keindahan matahari
tenggelam pada sore hari itu, namun nyatanya tidak seperti
itu. Tujuan Dewi Kopi pergi ke pantai adalah untuk mengenang kejadian
menyeramkan kala itu.
Kilas balik, tahun 1978 ketika Dewi Kopi berusia
10 tahun. Setiap hari dia selalu mendengarkan keributan antara mak dan bapaknya
yang meributkan masalah kebutuhan rumah tangga mereka. Karena ketidak cukupan
biaya hidup, tanpa kasihan Asmiranti menyuruh anaknya untuk bekerja serabutan.
Dengan usia Dewi Kopi yang masih dini, ia hanya bisa menjual keliling ikan-ikan
dari para nelayan dari
Juragan Boru.
"Dewi,
Juragan Boru memanggilmu," ucap nelayan yang menghampiri Dewi.
Dewi
segera menutup dagangannya, "Baik Paman, Dewi akan segera menemuinya."
Setelah
sampai di kediaman Boru dan...
BRAK
Dewi Kopi
yang ketakutan pun tidak berani menatap wajah Boru yang menyeramkan itu. Sambil
terbata-bata Dewi pun angkat bicara, "A a ada apa pak Boru memanggil
saya?"
"Kamu
ini niat jualan atau cuma main-main Dewi! penjualanmu hari ini hanya segitu. Bisa rugi saya."
"Maaf
Pak Boru, besok saya akan mencoba
berjualan ke tempat yang lebih jauh lagi."
"Awas
saja ya kalau hasilnya masih tetep sama," ancam Boru.
Dewi Kopi pun bergegas meninggalkan tempat Boru dan cukup
penat dengan kegiatan hari itu. Setelah sampai di rumah bukannya disambut dengan kesenangan malah Dewi mendapati
orang tuanya lagi dan lagi bertengkar mempermasalahkan kebutuhan. Walaupun setiap hari bertengkar, anehnya
Asmiranti enggan untuk pisah dengan Ki Tejo.
Dewi Kopi
setiap hari bekerja. Dia merasa menjadi babu untuk kedua orang tuanya.
Bagaimana tidak, mak dan bapaknya hanya sedikit kontribusinya
untuk menghidupi keluarganya. Apalagi Asmiranti yang setiap hari selalu di rumah dan tidak melakukan apa-apa,
bahkan pekerjaan rumah sekalipun. Itu semua memang karena Ki Tejo tidak
mengizinkannya untuk bekerja dikarenakan tak terima jika istrinya yang cantik
itu menjadi kumal dan tidak cantik lagi karena melakukan pekerjaan rumah. Dulu semua pekerjaan rumah
dilakukan oleh Ki Tejo, tapi sekarang semua beralih tugas menjadi pekerjaan Dewi
Kopi. Sedangkan sekarang Ki Tejo hanya bekerja sesuai mood. Keduanya sekarang
hanya mengandalkan anaknya.
"Aaaaaaaa...,"
teriak Dewi pada pagi hari melihat sosok hitam itu lagi. Namun kali ini sosok
hitam itu membawa benda aneh yang hampir saja menyelakakan Dewi.
Oh iya, pada saat umur tepat 5 tahun, Dewi pernah melihat sosok berwarna hitam yang yang pertama kalinya ada di
pohon depan rumah Dewi. Namun
saat itu dikarenakan Dewi masih anak kecil, dia menangis sepanjang malam
sampai-sampai Asmiranti yang notabenya ibu dari Dewi Kopi pun tidak bisa
membujuknya sampai ketika ayahnya membawakan minuman aneh untuknya.
Asmiranti
bergegas menghampiri Dewi, tetapi tidak dengan bapaknya.
"Kamu
kenapa Dewi?," tanya Asmiranti.
"I-itu ada makhluk itu lagi, tapi kali
ini ia hampir melukaiku
Mak."
Asmiranti
berdecak sambil berkata, "ck sakit
ini kuping Mak kalau kamu teriak-teriak, pergi ambil minum sana."
"M-maaf Mak"
Meskipun
galak, Asmiranti tetep mempunyai kepedulian
pada anak kandungnya itu.
Sangking
penasarannya
sama makhluk itu, pada tengah malam, Dewi Kopi pun menghampiri pohon yang ada
didepan rumahnya dan ternyata ia melihat bapaknya menghampiri pohon itu. Dewi
mengendap-endap mengawasi Ki Tejo. Malam hari seharusnya suasananya dingin nan
sunyi tapi tak menyangka Ki Tejo mendengar suara berisik dari balik kayu-kayu
samping rumah yang menunjukkan bahwa Dewi menyenggol tumpukan kayu itu dan
terdengar oleh bapaknya.
Tidak
sengaja Dewi melihat yang dibawa Ki Tejo ke pohon itu adalah barang-barang mistis yang tujuannya untuk meluluhkan hati seseorang. Apa yang
dilakukan Ki Tejo? Tidak
menyangka bahwa bapaknya juga melakukan hal seperti itu.
Setelah
ketahuan akhirnya Dewi kabur dan dikejar oleh Ki Tejo. Dewi berlari dari rumah menuju pantai sambil berteriak
sehingga suara teriakan itu terdengar oleh Asmiranti. Terkejut Asmiranti melihat apa yang ada di depan pohon besar itu. Dan juga ada kertas mantra-mantra
segera Asmiranti bakar. Setelah mantra-mantra itu hangus, Asmiranti segera
menyusul anak dan bapaknya yang lari entah kemana.
Setelah
Dewi sampai disebuah pantai, ia bingung mau lari kemana lagi, sebab ia sudah
lemas dan capek. Akhirnya Dewi dan Ki Tejo berhenti dengan jarak yang
berjauhan.
"Akhirnya
kamu berhenti Anakku," kata Ki Tejo sambil mengepal tangan seakan-akan mau
menghabisi anaknya.
"Bapak
ngapain tadi Pak?,"
tanya Dewi sambil ketakutan.
"Itulah
ritual Bapak dari dulu supaya mendapatkan
kembang desa seperti ibumu hahaha. Kalau tidak seperti itu mungkin kamu tidak
akan ada Dewi," jawab Ki Tejo.
Beruntungnya
Asmiranti segera membakar jampi-jampi tadi, kalau tidak mungkin sampai kapanpun
ia akan hidup dengan pria pemalas dan miskin itu.
"Mau
lari kemana kamu Dewi," Ki Tejo berusaha menghabisi anaknya karena takut
apa yang anaknya lihat tadi akan disebarkan oleh Dewi dan jika hal itu terjadi
maka akan membuat malu Ki Tejo karena berhasil mendapatkan hati Asmiranti
dengan cara yang tidak benar.
Ketika melayangkan pukulan pada Dewi tiba-tiba Asmiranti
datang dari belakang Ki Tejo dan berdiri dihadapan Dewi, sehingga pukulan itu
tidak tepat sasaran.
Boru yang melihat kejadian itu bergegas
mengambil kayu dan berniat menyelamatkan Dewi dan Asmiranti. Tanpa sengaja
dengan niat membela diri, Boru memukulkan kayu kepada Ki Tejo sehingga
menyebabkan Ki Tejo meninggal dunia. Boru segera meminta bantuan kepada anak
buahnya untuk menggotong Ki Tejo ke rumah
yang ditempati Asmiranti.
Akhirnya
Asmiranti, Dewi dan mayat Ki Tejo dibawa kembali pulang ke rumah.
“Pangapunten,”
kata yang terucap dari mulut Asmiranti kepada Boru sebab ia menyesal dulu
menolak cinta pria baik hati itu yang bahkan selama ini Boru lah yang diam-diam
mencukupi kebutuhan mereka dengan mengirim beras seminggu sekali ke rumah Asmiranti. Boru selalu mengutus
karyawannya untuk hal pengiriman beras kepada Asmiranti, sehingga Asmeranti tidak mengetahui bahwa beras itu
dari Boru. Ia menduga beras gratis yang selama ini adalah kiriman dari pak RT
untuk keluarga yang kurang berkecukupan seperti keluarga Asmiranti.
“Terimakasih
Mas Boru telah menyelamatkan kami. Kalau tidak, mungkin kami akan terus hidup
tersiksa dengan pria tua miskin itu,” lanjut Asmiranti.
(Berasal
dari bahasa Jawa, “Pangapunten/Sepurane”
keduanya memiliki arti Maaf dalam bahasa
Indonesia).
Tak
disangka, Juragan
yang terlihat galak nan acuh ini ternyata masih peduli dan tidak berpaling
terhadap Asmiranti.